Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), kepala desa dan warganya patutnya berbahagia dan berbangga karena di dalam Undang-Undang baru ini keberadaan desa secara tegas di akui oleh pemerintah melalui salah satu prinsipnya yaitu rekognisi. Hidup segan mati tak mau, adalah gambaran keberadaan desa di masa lalu yang sangat memprihatinkan. Keluar dari jurang kemiskinan dan keterbelakangan dirasa mustahil dilakukan karena sebelum lahirnya undang undang desa, keberadaan desa hanya dipandang sebelah mata, tidak diakui sebagai subjek pembangunan. Sehingga keterbelakangan desa dalam banyak aspek sulit sekali dientaskan, bukan saja dikarenakan sulitnya mendapatkan bantuan secara finansial tetapi juga mendapatkan dukungan moral dari pemerintah pun sulit didapat.
Melalui prinsip rekognisi Kementrian Desa (kemendes) sebagai Lembaga/Badan yang khusus dibentuk oleh pemerintah untuk dan atas nama kepentingan pembangunan di desa harus pula dapat memberikan suatu terobosan penting dan perlu bagi kemajuan desa-desa di seluruh Indonesia. Desa membangun adalah salah satu pengejawantahan, suatu representasi daripada komitmen semua pihak baik pemerintah melalui kemendes maupun kepala desa, warga desa dan semua elemen lain yang berkepentingan seperti pendamping desa.
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk melaksanakan amanat undang-undang desa, hal tersebut dapat dilihat dari tahun ke tahun terdapat kenaikan signifikan presentase dana desa yang dikucurkan pemerintah untuk desa. Untuk itu momentum yang sangat baik ini penting untuk didasari semua pihak bahwa hari ini saatnya membuat dan menunjukkan komitmen untuk meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional, sebagaimana di amanatkan oleh UU desa.
Namun perlu diingat di balik semua kebahagian dan kebanggaan pengakuan yang sangat luar biasa dari pemerintah, terdapat tanggung jawab yang lebih besar dan tidak mudah dilaksanakan.
Presiden Joko Widodo melalui media masa mengungkapkan selama tahun 2017 terdapat 900 kepala desa yang tersangkut kasus hukum penyalahgunaan anggaran dana desa (kompas.com). Angka yang sangat tinggi tersebut sangat memprihatinkan, ternyata di tengah gelora dan semangat pemerintah untuk membangun desa tidak berbanding lurus dengan kenyataannya.
Apakah yang melatarbelakangi terjadinya korupsi dana desa? Apakah tidak memiliki keinginan untuk membangun daerahnya? atau karena minimnya pengetahuan mereka terhadap pengelolaan anggaran?. Sampai saat ini tidak ada data real yang mampu dan mau mengungkap hal itu.
Tetapi apapun itu, bahwa tugas untuk membangun desa adalah tanggungjawab bersama, tidak dapat dilaksanakan sendiri-sendiri oleh perseorangan, karena untuk melakukan pembangunan harus terdapat suatu pemahaman yang bersifat kolektif-kolegial. Kepala Desa sebagai icon penyelenggara pemerintah desa harus mampu menyesuaikan diri dari segi pemahaman pengelolaan anggaran dan menjaga kerukunan bagi masyarakat. Kedua aspek itu adalah kata kunci berhasil atau tidaknya kepala desa memimpin desa.
Lalu, Apa yang Dibutuhkan Pemerintah Desa?
Bicara kebutuhan sebagai unsur pemenuhan dalam rangka melaksanakan tugas, sangat banyak jumlahnya. Namun, dalam konteks ini hal yang utama dan pertama yang sangat dibutuhkan Pemerintah Desa adalah orang/badan yang bersedia menjadi mitra. Mitra melaksanakan tugas-tugas keseharian, untuk mengarahkan, melakukan konsolidasi, serta menangani segala kebutuhan administratif dan teknis agar tidak terjebak atau tersandung masalah hukum yang berdampak pada terganggunya pelaksanaan tugas sebagai Kepala Desa.
Care Law Protection (CLP) adalah lembaga yang paling ideal menjadi mitra yang profesional untuk membantu mengarahkan dan menyajikan pandangan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan di desa dan menjaga keutuhuhan pemerintahan di desa (kr/clp).