Dewan Kerukunan Nasional Sebagai Simbol Kesatuan dan Persatuan Masyarakat Adat di Dalam Negara Hukum

Tulisan ini sebagai bentuk Apresiasi terhadap Wacana Pemerintah melalui Menko Polhukam untuk membentuk Dewan Kerukunan Nasional

 

A. DASAR PEMIKIRAN

Setiap kebijakan apapun itu bentuknya, adalah hal yang wajar tejadi pro dan kontra. Silang pendapat pasti selalu ada ditengah keberagaman latar belakang, pengetahuan dll, apalagi di suatu negara yang menganut sistem demokrasi. Setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya di muka umum memberikan suatu pandangan berdasarkan kapasitas dan kompetensinya masing masing. Keberagaman yang ada ini, tentu tidak dapat dimaknai sebagai sesuatu yang dapat merusak dan memecah kerukunan dalam hidup bermasyarakat, sebaliknya harus dipandang sebagai elemen yang akan memperkuat suatu kebijakan atau keputusan itu sendiri.

Cara menggunakan elemen dari banyak unsur tersebut tidak bisa serta merta dapat digunakan tanpa ada sistem yang memadai, sebab kalau tidak yang terjadi bukan akan memperkuat suatu kebijakan atau keputusan itu sendiri, tapi sebaliknya justru dapat menjelma sebagai alat penghancur yang menjadikan kerukunan itu lekas memudar. Untuk itu, harus ada barometer yang dapat mengukur kadar perbedaan pendapat itu sendiri. Bukan hanya itu, termasuk diantaranya bagaimana menunjukkan perbedaan antara satu dengan yang lain, dan bagaimana dari perbedaan itu dapat melahirkan satu kesimpulan bersama yang nantinya dapat disepakati dan ditaati bersama sama (Kolektif-Kolegial).

Kalau kesepakatan pemahaman itu tidak dicapai disitulah lahir yang namanya konflik. Apakah antara masyarakat dengan masyarakat (Konflik Horizontal), atau masyarakat dengan pemerintah (Konflik Vertikal), namun apapun bentuknya yang namanya konflik haram hukumnya dibiarkan tanpa ada yang mau ambil bagian mencari cara menyelesaikan. Karena disadari atau tidak menyatukan pemahaman bersama di tengah masyarakat yang majemuk (Heterogen) dan menerapkan toleransi seperti di Indonesia ini adalah hal sangat sulit dicapai, namun demikian bukan berarti tidak bisa. Yang dibutuhkan hanya harus ada suatu wadah yang khusus menangani konflik yang bersifat horizontal, bahkan kalau dirasa perlu yang bersifat vertikal.

Lalu pertanyaan yang lahir kemudian adalah siapakah yang memiliki kewenangan dalam hal menangani konflik semacam itu?

B. PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2012 DAN WACANA PEMERINTAH TERHADAP PEMBENTUKAN DEWAN KERUKUNAN NASIONAL.

Klasifikasi penanganan konflik sosial sebetulnya sudah terakomodir di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial (UUPKS), namun demikian harus diakui dalam pelaksanaanya masih banyak kelemahan. Klasifikasi lembaga penanganan konflik sosial di dalam Undang undang tersebut di atas terdiri dari: 1. Pemerintah, 2. Pemerintah Daerah, 3. Pranata Adat dan/atau 4. Pranata Sosial, serta Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial (Konflik), yang memiliki tugas dan fungsi sebagaimana akan di jelaskan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

Sumber bagan : Website Kementrian Dalam Negeri

 

Di Negara Hukum, penanganan dan penegakan baik berupa pelanggaran, kejahatan dan konflik apapun harus melalui lembaga yang secara khusus dibentuk untuk itu, seperti dunia peradilan, atau lembaga lain yang kapasitas dan kapabilitasnya tidak diragukan, misal seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di dunia pelaku usaha, atau Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) terhadap pelanggaran  administrasi yang terjadi.

Demikian juga seharusnya penanganan Konflik itu dibentuk, agar lebih memberikan kepastian dan jaminan terhadap warga yang sedang bertikai. Apapun yang melatar belakangi konflik itu, harus dikesampingkan dan yang harus dikedepankan adalah cara untuk menanggulangi. Karenanya terhadap apa yang diwacanakan oleh pemerintah melalui Menko Polhukan perlu diapresiasi. Walaupun memang tulisan ini terlalu dini untuk mengatakan sepakat atau tidak sepakat, namun karena dirasa kebijakan tersebut lebih memiliki nilai kebaikan dan kepastian maka langkah tersebut harus didorong untuk segera direalisasikan sebagai bentuk pengakuan negara terhadap simbol kesatuan dan persatuan masyarakat adat di dalam negara hukum.

Sumber Hukum:

  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial;
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial; dan
  3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial

(kr/clp).

Leave Comment